Nonton TV Dalam Kaitannya Dengan Depresi. Televisi baru dikenal selama 50 tahun. Namun media ini telah mengubah cara orang berhubungan dengan dunia. Beranjak dari suatu temuan baru, saat ini TV telah menjadi bagian penting dari kehidupan milyaran orang, dan diantaranya banyak anak remaja yang menjadi konsumen terbesar dari apa yang ditawarkan TV.
Saat ini beberapa riset menunjukkan bahwa kebanyakan terkena pencahayaan TV akan dapat mempengaruhi para remaja itu cenderung kearah depresi.
Kuantitas TV yang dilaporkan ditonton anak belasan tahun di awal satu studi dihubungkan dengan perkembangan depresi di tahun-tahun berikutnya.
Depresi bukan hanya merasa sedih - tapi juga mengalami penurunan kondisi yang menyulitkan seseorang untuk belajar, bekerja, dan berada pada potensi penuh mereka. World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa depresi merupakan penyebab utama morbi-ditas (jumlah kasus penyakit pada populasi) di dunia.
"Masa remaja adalah masa hura-hura. Ini juga merupakan masa bagi banyak orang untuk mengembangan perilaku yang akan mereka miliki untuk hidup ke depan mereka," kata profesor Universitas Pittsburgh Primack Brian, yang mempelajari perilaku anak remaja.
"Dengan alasan inilah mengapa banyak iklan dan promosi yang diarahkan pada para remaja," lanjutnya. "Para pemasar itu tahu, dari ini mereka akan mendapatkan pasar masa datang mereka."
Primack meneliti data dari sekitar 4.000 anak remaja. Mereka telah menjawab banyak pertanyaan tentang kebiasaan mereka, mencakup berapa banyak TV yang mereka tonton. Kemudian, para peneliti mengikuti perkembangan para remaja itu selama tujuh tahun.
"Kami menemukan bahwa jumlah televisi yang mereka laporkan pada studi pertama (awal studi) berkaitan dengan perkembangan depresi selama tujuh tahun berikut," kata Primack.
"Namun... jumlah video game, kaset video, dan radio yang mereka laporkan pada studi pertama tidak berkaitan dengan perkembangan depresi," tambahnya.
Primack mengatakan dia dan rekannya tidak tahu pasti mengapa televisi - bukan video games - yang menjadi masalah bagi para anak muda ini.
Remaja laki-laki terutama terpengaruh oleh banyaknya program televisi yang disaksikan. Anak-anak itu rata-rata menonton televisi dua jam setiap harinya.
Tetapi untuk tiap jam tambahan yang dihabiskan di depan TV, risiko depresi meningkat hingga 8 persen. Primack menyampaikan hipotesa bahwa setiap jam yang dihabiskan untuk menyaksikan TV mengambil alih waktu yang semestinya digunakan untuk melakukan hal lain, hal-hal yang lebih positif.
"Jika Anda menghabiskan banyak waktu dengan melakukan kegiatan apapun, selama berjam-jam setiap hari, lantas kegiatan itu menggantikan keterlibatan Anda dalam melakukan aktivitas lain yang bersifat protektif," lanjutnya.
"Anda hanya akan memiliki sedikit waktu untuk ... menjalin hubungan sosial positif, untuk melakukan olahraga, musik, dan aktivitas lain yang dapat meningkatkan kemampuan diri sendiri."
Hipotesis lain menyatakan bahwa anak belasan tahun mungkin berhadapan dengan terlalu banyak gambaran negatif saat menyaksikan televisi selama berjam-jam setiap hari.
Primack mengatakan tak seorangpun benar-benar mengetahui apa yang menyebabkan TV ikut berperan dalam menyebabkan depresi. Tetapi dia mengatakan bahwa mungkin bukan gagasan yang buruk untuk mematikan TV dan melakukan hal lain saja. (VOA/feb)
Saat ini beberapa riset menunjukkan bahwa kebanyakan terkena pencahayaan TV akan dapat mempengaruhi para remaja itu cenderung kearah depresi.
Kuantitas TV yang dilaporkan ditonton anak belasan tahun di awal satu studi dihubungkan dengan perkembangan depresi di tahun-tahun berikutnya.
Depresi bukan hanya merasa sedih - tapi juga mengalami penurunan kondisi yang menyulitkan seseorang untuk belajar, bekerja, dan berada pada potensi penuh mereka. World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa depresi merupakan penyebab utama morbi-ditas (jumlah kasus penyakit pada populasi) di dunia.
"Masa remaja adalah masa hura-hura. Ini juga merupakan masa bagi banyak orang untuk mengembangan perilaku yang akan mereka miliki untuk hidup ke depan mereka," kata profesor Universitas Pittsburgh Primack Brian, yang mempelajari perilaku anak remaja.
"Dengan alasan inilah mengapa banyak iklan dan promosi yang diarahkan pada para remaja," lanjutnya. "Para pemasar itu tahu, dari ini mereka akan mendapatkan pasar masa datang mereka."
Primack meneliti data dari sekitar 4.000 anak remaja. Mereka telah menjawab banyak pertanyaan tentang kebiasaan mereka, mencakup berapa banyak TV yang mereka tonton. Kemudian, para peneliti mengikuti perkembangan para remaja itu selama tujuh tahun.
"Kami menemukan bahwa jumlah televisi yang mereka laporkan pada studi pertama (awal studi) berkaitan dengan perkembangan depresi selama tujuh tahun berikut," kata Primack.
"Namun... jumlah video game, kaset video, dan radio yang mereka laporkan pada studi pertama tidak berkaitan dengan perkembangan depresi," tambahnya.
Primack mengatakan dia dan rekannya tidak tahu pasti mengapa televisi - bukan video games - yang menjadi masalah bagi para anak muda ini.
Remaja laki-laki terutama terpengaruh oleh banyaknya program televisi yang disaksikan. Anak-anak itu rata-rata menonton televisi dua jam setiap harinya.
Tetapi untuk tiap jam tambahan yang dihabiskan di depan TV, risiko depresi meningkat hingga 8 persen. Primack menyampaikan hipotesa bahwa setiap jam yang dihabiskan untuk menyaksikan TV mengambil alih waktu yang semestinya digunakan untuk melakukan hal lain, hal-hal yang lebih positif.
"Jika Anda menghabiskan banyak waktu dengan melakukan kegiatan apapun, selama berjam-jam setiap hari, lantas kegiatan itu menggantikan keterlibatan Anda dalam melakukan aktivitas lain yang bersifat protektif," lanjutnya.
"Anda hanya akan memiliki sedikit waktu untuk ... menjalin hubungan sosial positif, untuk melakukan olahraga, musik, dan aktivitas lain yang dapat meningkatkan kemampuan diri sendiri."
Hipotesis lain menyatakan bahwa anak belasan tahun mungkin berhadapan dengan terlalu banyak gambaran negatif saat menyaksikan televisi selama berjam-jam setiap hari.
Primack mengatakan tak seorangpun benar-benar mengetahui apa yang menyebabkan TV ikut berperan dalam menyebabkan depresi. Tetapi dia mengatakan bahwa mungkin bukan gagasan yang buruk untuk mematikan TV dan melakukan hal lain saja. (VOA/feb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar