Beginilah Ngabuburit Kaum Narsis - Di setiap bulan puasa tiba, ngabuburit selalu menjadi tradisi dimana-mana. Demikian pula di Yogyakarta. Namun ternyata, ngabuburit yang dalam pengertian sederhana menunggu buka puasa, pada sisi penilaian tertentu menguatkan aroma problematis. Ngabuburit menjadi ajang narsis yang matrealistis!
Tak percaya? Jalan-jalanlah menjelang bedug maghrib di jalan Deresan dekat percetakan Kanisius. Disana kita akan menemukan sebuah café, dimana orang-orang tak hanya sekedar menunggu buka puasa, memesan jus dan kue-kue khas Ramadhan. Tapi lebih dari itu, mereka membeli harga diri.
Tak percaya? Jalan-jalanlah menjelang bedug maghrib di jalan Deresan dekat percetakan Kanisius. Disana kita akan menemukan sebuah café, dimana orang-orang tak hanya sekedar menunggu buka puasa, memesan jus dan kue-kue khas Ramadhan. Tapi lebih dari itu, mereka membeli harga diri.
Ya, mereka yang datang kesitu, yang notabennya orang kaya, tak merasa percaya diri jika belum menenteng laptop bermerk mahal, hp Blackberry dan membawa mobil mewah. Jangan kaget, jika berderet-deret mobil terparkir sampai di depan Kanisius melebihi showroom mobil. Di tempat lain, tak jauh dari kantor pusat Muhammadiyah juga terdapat sebuah café yang memiliki kondisi serupa. Ini barangkali hanya beberapa contoh yang dapat disebut.
Pertanyaanya, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa selalu ada kegagapan dan rasa tak percaya diri yang berlebihan muncul jika tak memenuhi segala persyaratan masyarakat modern yang disebut diatas dalam ruang publik?
Narsisme yang Materialistis
Mengikuti Herbert Marcuse (1898-1979), gejala di atas barangkali hanyalah terpaan kecil namun membahayakan dari sebuah arus besar bernama kapitalisme global yang melahirkan manusia modern berwajah tunggal. Modernisme yang kapitalistik telah menyulap semua menjadi satu wajah. Lainnya, dianggap sumbing dan tak sempurna.
Agar ngabuburit di café dapat dianggap keberadaanya, ada syarat-syarat tertentu yang harus kita penuhi seperti fenomena diatas. Jika tidak, keberadaan kita disana akan selalu dipertanyakan. Meski tak selalu diungkap dalam kalimat-kalimat verbal yang tegas, namun cukup jelas untuk ditangkap dalam bahasa tubuh yang menyeringai, misal: mata yang selalu melirik, tawa yang sedikit nyinyir, serta tubuh yang tegap terkesan arogan, yang semua itu seolah bicara dengan angkuh tentang “Siapa Anda? lawan atau kawan?”. Kesiapaan kita disini tentu diukur dari ke”benda”an yang kita miliki. Kawan berarti kita modern, karena sudah memenuhi dan memiliki syarat kebendaan yang disebutkan tadi. Lawan berarti sebaliknya, kita kuno dan tak zamani, otomatis bukan bagian dari mereka yang modern.
Jelas, ada penyakit narsisme yang menari-nari di café. Banyak orang ngbuburit di café men”show”kan kepemilikan harta bendanya. Mobil, Blackberry, dan laptop mahal bukan lagi didudukkan sebagai teknologi yang fungsional, melainkan sebagai asessoris dan riasan untuk menunjukkan identitas kesiapan kita. Pertanyaan selanjutnya, apakah narsisme itu salah?
Jawabanya iya. Karena narsisme yang muncul disini adalah narsisme yang matrealistis. Budi Hardiman menyebut gejala ini sebagai kultur terapeutis, dimana ego menarik diri dari kebersamaan dan fokus pada fisik dan psikis sendiri terjadi. Pada titik ini, ngabuburit kemudian kehilangan makna sosialnya.
Puasa; Bulan Keramahan Sosial atau Narsis?
Kenyataan diatas melukai nilai puasa sebagai bulan ibadah dan kesalehan sosial. Keramahan dan kehangatan Ramadhan yang seharusnya hadir kini terhalangi oleh narsisme yang tak substansial.
Padahal puasa adalah ritual yang “melumpuhkan”. Bukan hanya pelumpuhan terhadap makan dan minum saja, tapi sekaligus terhadap segala nafsu dan bentuk keinginan-keinginan yang potensial yang merusak sosialnya. Al-Ghazali dalam magnum opusnya “Ihya Ulumuddin” mengklasifikasikan orang berpuasa menjadi tiga tingkatan. Pertama, puasa umum. Puasa umum ini menurutnya adalah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi syahwat. Kedua, puasa khusus. Jenis kedua ini menurut Ghazali adalah mencegah pendengaran, lisan, tangan dan kaki serta anggota tubuh lainnya dari dosa. Sedang yang terakhir, puasa khusus dari yang khusus. Jenis yang terakhir ini menurutnya adalah menahan atau melumpuhkan hati dari kemauan-kemauan yang rendah dan pikiran duniawi. Pengklasifikasian puasa oleh Imam Ghazali ini mengindikasikan bahwa dalam kerangka pelumpuhan yang harus dilaksanakan oleh orang yang berpuasa begitu kompleks. Termasuk pelumpuhan terhadap narsisme berlebihan yang materialistis di atas.
Dengan begitu, kiranya tak berlebihan, jika penulis membayangkan dan mengharapkan ngabuburit di café adalah ngabuburit yang bermuatan narsis substansial. Perlu dipahami, dalam batas-batas tertentu sikap yang narsistik bukan suatu kesalahan. Narsis disini bukan kesombongan dan kepongahan. Melainkan hasrat (desire) yang percaya diri untuk hal-hal yang memiliki keutamaan atau faedah bagi sosialnya apalagi di bulan Ramadhan. Misalnya, narsis ilmu dan kecakapan.
Alangkah luar biasa jika ngabuburit di café-café diisi dengan dialog-dialog keilmuan dan kemanusiaan yang semarak. Di beberapa daerah, café-café sudah menjadi rahim yang banyak melahirkan orang-orang besar di bidangnya karena kentalnya budaya diskusi (bukan gossip!) diruang publik. Bukan lagi benda-benda material yang menjadi rebutan untuk narsis, melainkan ilmu, ilmu, dan ilmu. Sehingga café sebagai tempat ngabuburit di bulan puasa benar-benar menjadi ruang publik yang tak pernah sepi dan kering akan semangat kepekaan sosial. ( eramuslim.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar